Surabaya (ANTARA News) - Ketua Bidang Multimedia Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Priyambodo RH, mengemukakan bahwa kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni International, Tangerang, Banten, sebaiknya diselesaikan dengan cara mediasi.
"Karena sudah terlanjur masuk ke ranah hukum, maka majelis hakim sebaiknya mengupayakan penyelesaian secara mediasi dapat terwujud," katanya kepada ANTARA per telpon dari Surabaya, Jumat (5/6).
Ahli cyberjournalism tersebut mengemukakan hal itu menanggapi kasus "curhat" (curahan hati) Prita Mulyasari tentang pelayanan RS Omni International yang dipublikasikan lewat milis kepada rekan-rekannya yang akhirnya dilaporkan RS Omni International ke polisi.
Menurut Priyambodo, yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Sutomo (LPDS), mediasi merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan, karena bila proses hukum dilanjutkan terus justru akan membuat citra RS Omni International semakin "babak belur."
"Saya tidak bermaksud mempengaruhi jalannya persidangan. Hanya saja kalangan RS Omni International tetap tidak akan diuntungkan sekalipun bila dia menang perkara melawan Prita. Sebab, sejarah akan mencatat RS Omni International termasuk lembaga atau organisasi anti-kebebasan pers dan informasi," katanya.
Oleh karena itu, kata cyberjournalist ANTARA Multimedia Gateway (Perum LKBN ANTARA) itu, Prita dan kalangan RS Omni International harus sama-sama mengalah, karena keduanya sama-sama tidak memahami etika di Internet (netiquette), terutama dalam "cyber media."
Apalagi, Prita pernah mengirimkan surat elektronik (e-mail) surat pembaca mengenai kasusnya di RS Omni Internasional ke portal berita http://www.detik.com pada tahun lalu. Saat itulah, RS Omni Internasional sebenarnya berpeluang memberikan hak jawabnya melalui Detik.Com pula.
"Prita rasanya tidak tahu etika cyber media (media siber), karena pada saatnya kemudian moderator mailing-list mungkin tidak mencantumkan etika yang harus dipatuhi anggotanya, sedangkan kalangan RS Omni International juga tidak memahaminya, termasuk etika dalam dunia pers," katanya.
Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) dan International Institute of Journalism (IIJ) Berlin itu mengatakan, etika dalam dunia pers adalah kritik harus ditanggapi dengan hak jawab, karena itu kritik dalam "cyber media" juga akan lebih elegan bila ditanggapi dengan hak jawab dalam cyber media, seperti dengan email.
"Kalau pun tetap tidak puas, kalangan RS Omni International dapat mengadu ke Dewan Pers atau KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) bila menyangkut pemberitaan di media siaran radio dan televisi, karena kalau ke polisi justru akan mempertaruhkan citranya," katanya.
Apalagi, katanya, polisi cenderung menggunakan pasal-pasal dalam KUHP, dan kejaksaan mengaitkan pula dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). "Kalau terkait dengan pers, polisi seharusnya menggunakan pasal-pasal dalam UU Pers, UU Penyiaran, atau bahkan UU Perlindungan Konsumen dalam kasus Prita," katanya.
Terkait penerapan UU ITE, ia menilai UU ITE masih belum memiliki peraturan pelaksanaan, apalagi UU ITE bukan huruf I dalam ITE itu bukan informatika, melainkan informasi, sehingga ada kekeliruan dalam pelaksanaannya.
"Kalau informatika itu lebih bersifat teknis, sedangkan informasi bersifat substansial, padahal kalau masalah substansial sudah ada UU Pers atau UU Penyiaran, karena itu RS Omni International sebaiknya jangan ke polisi dulu," katanya menambahkan. (*)